BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Nahdlotul Ulama’, tidak saja terlahir dengan
bangunan tradisi keagaman, nasionalisme dan pemikiran, namun ia juga dibangun
oleh kekuatan ekonomi. Tiga fondasi itulah yang menjadi pilar berdirinya NU
1926, dan sering disebut sebagai tiga pilar penyokong berdirinya NU. Tiga pilah
utama yang itu ialah, Nahdlotul Waton sebagai semangat nasionalisme dan
politik, Taswirul Afkar sebagai semangat pemikiran keilmuan dan keagamaan dan
Nahdlotut Tujjar sebagai semangat pemberdayaan ekonomi. Dalam perjalanannya,
ketiga pilar itu tidk berjalan seimbang, dan satu pilar atau orientasi menindih
orientasi yang lain. Selama 82 Tahun NU berdiri, orientasi politiklah
mendapatkan porsi lebih, hingga porsi pengembangan pemikiran melalui pendidikan
dan pemberdayaan ekonomi umat menjadi terabaikan. maka saat ini mesti menjadi
momentum untuk membangkitkan kembali dua pilar yang selama ini agak
terpinggirkan, yaitu: pendidikan dan perekonomian.
Sebagai ormas keagamaan terbesar di
Indonesia, sepanjang sejarahnya, NU sangat lekat bahkan tak bisa dipisahkan
dengan politik. Dengan berbasis massa pesantren yang mayoritas pedesaan, warga
NU memiliki tingkat patronase yang sangat tinggi. Nah, kondisi demikian, sering
dimanfatkan para elit NU kearah politik praktis yang memang sangat membutuhkan
dukungan massa. Sehingga wajar jika sampai sekarang NU lebih dekat dengan
politik ketimbang aspek-aspek lainnya. Berdirinya NU sendiri pada dasarnya
adalah untuk merespon adanya gerakan politik kelompok pembaruan Islam yang
berkeinginan menghabisi kelompok tradisionalis. Dan dalam perjalanannya NU
turut terlibat aktif dalam politik kenegaraan, baik pada masa merebut
kemerdekaan, agresi dan masa-masa selanjutnya hingga sekarang. Bahkan diantara
anggota BPUPKI adalah tokoh NU, KH. Abdul Wachid Hasyim.
B. Rumusan Masalah
Dari Latar
Belakang yang dipaparkan di atas maka bisa ditarik rumusan masalah sebagai
berikut :
1.
Apa itu NU dilihat dari segi ekonomi ?
2.
Bagaimana Ekonomi
dan Potensi yang Terabaikan di NU?
3.
Bagaimana Strategi
NU dalam Membangun Ekonomi Umat?
4.
Bagaimana Kendala
dan upaya pengembangan Ekonomi NU
5. Bagaimana Potensi Ekonomi Pesantren
6. Bagaimana Langkah dan Strategi
Pengembangan Ekonomi NU
C. Tujuan
Dari Rumusan Masalah yang
dijelaskan diatas maka dapat ditarik tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui Apa
itu NU dilihat dari segi ekonomi ?
2.
Untuk mengetahui Bagaimana Ekonomi
dan Potensi yang Terabaikan di NU?
3. Untuk
mengetahui Bagaimana Strategi
NU dalam Membangun Ekonomi Umat?
4.
Untuk mengetahui Bagaimana Kendala
dan upaya pengembangan Ekonomi NU
5. Untuk mengetahui Bagaimana
Potensi Ekonomi Pesantren
6. Untuk mengetahui Bagaimana Langkah dan Strategi Pengembangan
Ekonomi NU
.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas
Tentang NU
Nahdhotul Ulama lahir pada Tanggal 31 Januari 1926 sebgai ormas
keagamaan yang pada awal berdirinya ditujukan untuk membendung gerakan islam
pembaruan yang hendak menghabisi kelompok tradisionalis Islam. Meski NU baru
lahir pada tahun 1926, namun sebenarnya telah didahului dengan berdirinya
lembaga-lembaga milik para ulama, baik dibidang pemikiran maupun ekonomi. NU
tidak bisa dipisahkan tiga tiang penyangga kelahirannya, yaitu Nahdlatul Wathan
yang berdiri pada tahun 1914, Nahdlatut Tujjar (1918) dan Tashwirul Afkar
(1918) yang juga didirikan oleh para ulama pendiri NU.
Nahdlatul Wathan yang artinya kebangkitan bangsa atau tanah air merupakan organisasi pendidikan dan dakwah yang berfungsi untuk menyediakan sumber daya manusia yang berwatak religius dan nasionalis. Sumber daya demikian dibutuhkan untuk kepentingan kekuasaan (seperti kebutuhan akan pejabat birokrasi) maupun kepentingan kemasyarakatan secara luas. Nahdlatut Tujjar yang artinya kebangkitan para pedagang merupakan gerakan ekonomi yang bertujuan menguatkan sendi-sendi perekonomian rakyat dan berbagai bentuk usaha bersama seperti koperasi dan pengembangan usaha kecil.
Nahdlatul Wathan yang artinya kebangkitan bangsa atau tanah air merupakan organisasi pendidikan dan dakwah yang berfungsi untuk menyediakan sumber daya manusia yang berwatak religius dan nasionalis. Sumber daya demikian dibutuhkan untuk kepentingan kekuasaan (seperti kebutuhan akan pejabat birokrasi) maupun kepentingan kemasyarakatan secara luas. Nahdlatut Tujjar yang artinya kebangkitan para pedagang merupakan gerakan ekonomi yang bertujuan menguatkan sendi-sendi perekonomian rakyat dan berbagai bentuk usaha bersama seperti koperasi dan pengembangan usaha kecil.
Kebanyakan pendiri NU seperti KH A Wahab Chasbullah adalah pedagang,
sekurang-kurangnya memiliki unit produksi yang membuat mereka bisa mandiri
secara ekonomi. Sedangkan Tashwirul Afkar atau potret pemikiran adalah gerakan
pemikiran yang berfungsi sebagai laboratorium sosial untuk mengembangkan dan
menerjemahkan pemikiran-pemikiran Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
tuntutan zaman yang terus berubah. Dengan demikian, NU sebenarnya bukan gerakan
keagamaan dalam arti yang sempit, tetapi juga gerakan ekonomi, pemikiran dan
pendidikan yang berorientasi kebangsaan dan kerakyatan. Orientasi demikian bisa
terus dijaga sampai saat ini dengan berbagai bentuk kebijakan yang mungkin
belum terkonsolidasi dengan baik.
Adien Jauharudin, seorang tokoh muda NU yang konsesan dalam mengangkat
kembali potensi-potensi NU dan pesantren menulis buku berjudul Menggerakkan
Nahdlatut Tujjar. Dari buku itu setidaknya memberikan gambaran betapa
pentingnya keberadaan Nahdhatut Tujjar bagi kelahiran NU. Buku ini secara
khusus mengkaji salah satu tiang penyangga terbentuknya NU: Nahdlatut Tujjar.
Buku ini boleh dikata termasuk “lensa teropong” untuk menilik Nahdlatut Tujjar
masa silam yang didirikan tahun 1918 dan mencoba menghadirkan semangatnya di
masa kini. Dengan demikian, buku ini merupakan dokumen berharga yang berisi
refleksi tentang apa yang disebut dengan ekonomi NU.
Sebagai organisasi ekonomi NU, Nahdlatut Tujjar sesungguhnya kurang
begitu populer dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Nahdlatut Tujjar
jarang sekali termaktub dalam catatan sejarah resmi. Ini terjadi karena tiga
alasan. Pertama, sejarah Nahdlatut Tujjar tidak pernah terdokumentasikan secara
rapi, baik oleh para pendiri ataupun penerusnya. Kedua, ketidaktahuan kalangan
peneliti mengenai keberadaan Nahdlatut Tujjar dan pengaruhnya terhadap
perekonomian nasional saat itu. Ketiga, kemungkinan adanya distorsi penulisan
sejarah.
Menurut Adien Jauharudin, di antara tiga alasan di atas, kemungkinan
alasan pertama dan kedua-lah yang menyebabkan para pemerhati NU ataupun para
peneliti asing tidak banyak menelaah Nahdlatut Tujjar. Buku yang secara jelas
menulis dengan judul Nahdlatut Tujjar hanya sebuah buku yang berjudul Sekilas
Nahdlatut Tujjar yang ditulis oleh Jaringan Komisi Fatwa Surabaya. Namun, buku
Sekilas Nahdlatut Tujjar ini hanyalah “buku perkenalan” yang tidak lengkap
mengulas Nahdlatut Tujjar. Disinailah ruang bagi kelompok-kelompok muda NU
untuk merekam kembali peristiwa-peristiwa penting di masa silam.
Nahdlatut Tujjar lahir sebagai ekspresi para ulama di tiga jalur strategis Jawa Timur saat itu, yaitu Surabaya, Kediri, dan Jombang dan didorong oleh dua faktor penting. Pertama, para ulama kebanyakan belum banyak berbuat dalam upaya pemberdayaan rakyat. Padahal, kemiskinan dan kemaksiatan sudah sampai pada tahap yang sangat memprihatinkan kala itu. Kedua, kolonialisme Belanda sudah merontokkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk tradisi perdagangan.
Nahdlatut Tujjar lahir sebagai ekspresi para ulama di tiga jalur strategis Jawa Timur saat itu, yaitu Surabaya, Kediri, dan Jombang dan didorong oleh dua faktor penting. Pertama, para ulama kebanyakan belum banyak berbuat dalam upaya pemberdayaan rakyat. Padahal, kemiskinan dan kemaksiatan sudah sampai pada tahap yang sangat memprihatinkan kala itu. Kedua, kolonialisme Belanda sudah merontokkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk tradisi perdagangan.
Proses lahirnya Nahdlatut Tujjar diprakarsai oleh 45 saudagar santri
yang berada di tiga jalur strategis di Jawa Timur. Di antara 45 orang
pendirinya, hanya ada dua tokoh ulama yang sangat disegani, yaitu KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, sementara yang lainnya adalah para saudagar
santri biasa yang memiliki kesamaan visi dan misi untuk mengangkat kualitas
kehidupan masyarakat di satu sisi, dan memerangi kolonialisme yang telah
melahirkan aneka bentuk eksploitasi dan penindasan di sisi lainnya.
Dari hasil pelacakan sejarah yang dilakukan Adin, diketahui bahwa di
sinilah (Surabaya) perekonomian di Jawa Timur telah dulu ramai. Dari sini
diketahui bahwa: Pertama, sejak tahun 1612, Surabaya sudah menjadi kota
perdagangan. Selain itu, Surabaya dikenal sebagai kota pelabuhan dan industri
yang multi-etnis. Dalam laporan Kolonial Verslag, pada akhir tahun 1830-an,
Madiun telah ikut meramaikan pasar keresidenan Surabaya yang kala itu
dikendalikan oleh Cina dengan menjual 3.335 ton beras pertahun.
Kedua, Kediri adalah kota tua, dan pernah menjadi saksi runtuhnya
kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Secara umum, masyarakat Kediri memiliki
ciri-ciri religius, paternalistik, dan memiliki rasa kebersamaan yang sangat
tinggi. Dalam konteks perdagangan, Kediri sama maraknya dengan Surabaya,
sebagai akibat dari kian banyaknya permintaan barang di tengah kondisi
perdagangan yang sebagian dikuasai orang-orang Cina. Artinya, sebagaimana
Surabaya, Kediri juga memiliki peran yang tidak kecil dalam hal perdagangan.
Ketiga, secara administratif, Jombang baru didirikan pada tahun 1910,
meskipun eksistensinya sudah ada sejak tahun 1880 . Seperti yang diketahui,
kabupaten Jombang merupakan daerah yang dikenal kaya pesantren berikut dengan
para ulamanya. Karena itu, tidak heran jika para pendiri Nahdlatut Tujjar
sebagian besar adalah para ulama yang berasal dari kabupaten Jombang.
Berkaitan dengan pendirian Nahdlatut Tujjar ini, KH. Hasyim Asy’ari
menguraikan tentang problem-problem keumatan yang terkait erat dengan soal
ekonomi. KH. Hasyim Asy’ari kemudian memelopori dan menuntut kepedulian para
ulama, karena merekalah pemimpin dan teladan umat. Apabila basis-basis dan
simpul-simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, selain para ulama telah
berdosa, bangsa ini juga akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan
kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh kolonial.
Problem lainnya adalah pengaruh penyebaran Islam sufistik yang telah
meracuni pola pikir masyarakat Islam Indonesia. Kedatangan kelompok-kelompok
sufi ke tanah air jelas menggoyahkan konstruksi Islam yang telah dibangun oleh
para penyebar Islam sebelumnya. Dampak yang paling nyata adalah pergeseran
orientasi dari fiddunya hasanah (harapan akan kebaikan dunia) ke fil akhiroti
hasanah (harapan akan kebaikan akhirat). Dengan pergeseran semacam itu, banyak
saudagar muslim yang tidak lagi memiliki etos kerja dan kepedulian sosial.
Yang tidak kalah menarik, sebagaimana dicatat Adien Jauharudin, sejak
awal pendiriannya, Nahdlatut Tujjar ternyata telah mengenal dan menerapkan
manajemen organisasi modern. Pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja,
di mana ada para pendiri, kepala perusahaan, direktur, sekretaris, marketing,
dan pengawas keliling sudah dipraktikkan di Nahdlatut Tujjar. KH. Hasyim
Asy’ari dipilih sebagai kepala perusahaan dan mufti (semacam komisaris), KH.
Wahab Hasbullah sebagai direktur perusahaan, H. Bisri sebagai sekretaris
perusahaan, dan Syafi’i sebagai marketing sekaligus pengendali perusahaan.
Selain itu, konsep investasi usaha juga mengemuka dalam bentuk sederhana,
yang di era sekarang dikenal dengan profit share. Pembagian keuntungan 50%
menjadi kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat
modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun
basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah
ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan pasar sendiri di
daerah Surabaya, Kediri, dan Jombang. Lebih dari itu, Nahdlatut Tujjar juga
memiliki cita-cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan,
kemaksiatan, dan kebodohan.
B.
Ekonomi dan Potensi yang Terabaikan
di NU
Setelah beberapa waktu NU berdiri ditengah kondisi perjuangan dan makin
banyaknya persoalan social kemasyarakatan dan keagamaan, Nahdlotut Tujjar tidak
lagi memiliki peranan penting sebagaimana di awal berdirinya. Hingga banyak
persoalan kesejahteraan umat terabaikan. untuk mengantisipasi problem ekonomi
umat ketika itu, sebenarnya telah dikembangkan ekonomi kerakyatan berupa
koperasi. Pada tahun 1937 Ketua Tanfidz NU, KH. Mahfoedz Siddiq mendirikan
koperasi Syirkah Mu’awwanah. Kehadiran koperasi ini berupaya membuka jaringan
perdagangan antar pesantren yang banyak menghasilkan produk-produk pertanian
dan usaha-usaha kecil lainnya.
Dalam pada itu, terdapat satu departemen dari lima departemen yang ada
yang secara khusus mengurusi masalah bisnis di dalam NU (lihat teks dalam Anam
1985, Lampiran) Para anggota yang memproduksi barang-barang sederhana seperti
pakaian, rokok, sajadah, dan lain-lain diperkenankan memasarkan barangnya
dengan nama “Nahdlatul Ulama”, dengan menggunakan lambang resmi NU. Sebagai imbalannya
mereka harus mamberikan persentase keuntungannnya kepada organisasi, dan semua
label harus dicetak di percetakan milik NU sendiri. Kiai didorong madirikan
toko sendiri, dengan logo NU, untuk menjual barang-barang yang diperlukan di
pesantren; departamen ini akan membantu mereka mengembangkan keterampilan
bisnis mereka, dan para usahawan didorong menjual barang-barang mereka ke
toko-toko ini dengan persyaratan yang lebih mudah.
Namun pada kenyataannnya Syirkah Mu’awwanah dan departemen yang
mengurusi bisnis di NU ini tidak mampu berperan secara maksimal dalam
mengangkat perekonomian umat. Meski telah memiliki BMT SM NU dan usaha-usaha
lain seperti Koperasi an Nisa, Koperasi Bintang Sembilan dari kelanjutan
Syirkah Muawwanah, namun hingga kini manfaatnya belum dapat dirasakan secara
maksimal oleh warga NU. Selain itu, banyak pesantren NU yang berhasil
memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren.
Lihat saja, Koperasi Pesantren Sidogiri di Pasuruan bahkan sudah memiliki lebih
dari 10 cabang, An Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Nurul Jadid di
Paiton-Probolingga, Pesantren Drajat di lamongan, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Diantara pesantren itu bahkan telah memiliki produk unggulan masing
masing. Namun koperasi-koperasi dan unit-unit usaha produksi yang berdiri kuat
di pesantren ini masih belum memiliki jaringan ekspansi pasar yang kuat dan
berjalan sendiri-sendiri, sehingga pengembangannya menjadi agak terhambat.
Selain itu aspek permodalan juga masih sangat kurang, disamping sklill dalam
menangani bisnis juga masih perlu terus ditingkatkan.
Secara structural, sebenarnya telah diadakan upaya-upaya membangun
perekonomian ini. Pada juni 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank
Summa (milik grup Astranya William Soerjadjaya) dan membentuk bank Nusumma.
Kehadiran bank Nususmma ini sebenarnya adalah upaya menjembatani kebutuhan
permodalan bagi pengembangan usaha-usaha warga NU, selain secara khusus juga
dimaksudkan sebagai badan usaha untuk menopang kebutuhan NU. Namun keberadaan
Nusumma sendiri tidak mampu bertahan setelah kelompok usaha William Surjadjaja
tersandung masalah dan terpaan badai krisis ekonomi 1997. setelah Nusumma tidak
lagi punya liquiditas dan pemerintah tidak lagi membantu meningkatkan
liquiditasnya, akhirnya Nusumma turut di liquidasi bersama bank-bank nasional
lainnya.
Setelah masa reformasi bergulir, NU pun turut dalam program-program
peningkatan kesejahteraan khususnya petani dan pengusaha kecil. NU juga
dipercaya sebagai salah satu penyalur dana dari program Kredit Usaha Tani
(KUT), namun karena minimnya SDM dan banyak factor lain, seperti fluktuasi
harga dan gagal panen, banyak dari peminjam dana KUT tidak mengembalikan,
termasuk yang disalurkan melalui NU kepada warganya. Akhirnya program KUT
dinyatakan gagal dan Pemerintah membebaskan dari pengembalian utang KUT.
Peran-peran NU dalam mengembangkan sector perekonomian ini terasa masih
sangat kurang sekali jika dibandingkan dengan perhatian NU terhadap
urusan-urusan politik. Padahal kita tahu bahwa, sector ekonomi menjadi tumpuan
utama dalam masyarakat. Bahkan Rosulullah SAW bersabda: Kaddal faqru an yakuuna
kufron (kefakiran akan mendekatkan kepada kekufuran). Dalam ekonomi islam,
bahwa pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) akan sangat mempengaruhi keimanan
dan keislaman seseorang. Hal ini dikarenakan bagaimana mungkin orang dapat
beribadah dengan khusuk jika dalam kondisi kelaparan, dan serta keterbatasan.
Dengan terpenuhi basic neednya, maka kualitas keimanan dan keislamannya juga
akan makin meningkat. Rosulullah sebenarnya juga telah memberikan suri tauladan
dalam pengembangan ekonomi melalui aktivitas bisnis Rosulullah sejak beliau
kecil. Kuatnya Orientasi Politik telah mengurangi orientasi untuk membangun
lembaga-lembaga pendidikan dan ekonomi. Hanya gerakan pemikiran NU yang
berkembang pesat dengan munculnya kelompok-kelompok muda kritis dan progresif.
Gerakan ekonomi dan pendidikan NU sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi
berjalan cukup dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri. Namun jika dibandingkan
dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan perkembangan di ormas-ormas
keagamaan lain, apa yang dicapai NU di dua sektor itu masih sangat tertinggal.
Hal itu bisa terjadi karena dua hal. Pertama, sikap hati-hati yang
berlebihan, sehingga perubahan masyarakat yang begitu cepat terlambat untuk
disikapi. Sikap demikian memang ada nilai positifnya, yaitu tetap kuatnya
karakter dan identitas NU karena ia tidak mudah larut dalam perubahan. Tradisi
NU menjadi demikian kokoh sehingga gaya hidup liberal tidak mampu membuatnya
terseret terlalu jauh. Namun dampak negatifnya NU menjadi gagap dalam merespons
persoalan yang membutuhkan jawaban segera. Kedua, orientasi politik yang kuat
di kalangan elite NU. Banyak elite NU yang menjadi pengurus karena ingin mendapatkan
jabatan politik baik di tengah masa jabatannya maupun sesudahnya. Misalnya
menjadi ketua NU karena berniat ikut dalam pemilihan presiden atau wakil
presiden, atau jabatan-jabatan politik lain di bawahnya seperti gubernur/wagub
atau bupati/wabup. NU pun sering menjadi kendaraan politik, atau banyak orang
bilang NU terkadang lebih politis dari partai politik.
Orientasi seperti itu sebenarnya tidak menjadi masalah jika selama
menjadi pemimpin NU ia bisa fokus dan serius mengembangkan NU sebagai gerakan
ekonomi dan pendidikan, tidak hanya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang
sifatnya seremonial atau pamer kekuatan (show of force). Sebab, selama dua
sektor itu tidak tergarap dengan baik, maka tradisi NU yang sudah sangat kokoh
bisa mengalami proses degradasi yang tidak terkendali dan persoalan NU saat ini
atau di masa depan akan tetap sama dengan persoalan yang dihadapi pada tahun
1950-an: minimnya sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan yang kurang
layak.
Untuk itu, NU mesti benar-benar kembali ke khittah. Kembali ke khittah
tidak hanya dimaknai sebagai meninggalkan panggung politik praktis dan menjaga
jarak yang sama dengan partai politik, namun harus berupaya secara maksimal
menjalankan Statuennya (AD/ARTnya). Dalam Statuen NU Fatsal 3 disebutkan,
terdapat beberapa upaya yang mesti dilakukan oleh NU yang diantaranya adalah
membangun sektor perekonomian. Secara lengkap dalam Fatsal 3 disebutkan sebagai
berikut:
Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:
a. Mengadakan perhoeboengan di antara ‘Oelama-‘oelama jang ber mazhab terseboet
dalam fatsal 2 (Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali).
b. Memeriksai kitab-kitab sebelomja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei
apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Soennah Wal ja-ma’ah atau kitab-kitabnya
Ahli Bid’ah.
c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan
djalanan apa sadja jang baik.
d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.
e. Memperhatikan hal-hal jang herhoeboengan dengan masdjid2, langgar2 dan
pondok2, begitoe djoega dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang
yang fakir miskin.
f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan
peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara’ Agama Islam.32
Fatsal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:
a. Mengadakan perhoeboengan di antara ‘Oelama-‘oelama jang ber mazhab terseboet
dalam fatsal 2 (Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali).
b. Memeriksai kitab-kitab sebelomja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei
apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Soennah Wal ja-ma’ah atau kitab-kitabnya
Ahli Bid’ah.
c. Menjiarkan Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan
djalanan apa sadja jang baik.
d. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.
e. Memperhatikan hal-hal jang herhoeboengan dengan masdjid2, langgar2 dan
pondok2, begitoe djoega dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang
yang fakir miskin.
f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan
peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara’ Agama Islam.32
Secara jelas bahwa pasal 3 item 6 dan 7 adalah tugas NU dalam
memberantas kemiskinan, memperhatikan anak yatim dan memperhatikan usaha-usaha
perekonomian. Bahkan Statuen NU juga mendorong untuk secara khusus
memperhatikan sector pertanian, perdagangan dan perusahaan-perusahaan yang
dapat menopang ekonomi warga dan selaras dengan kepentingan agama. Hal inilah
yang hingga 82 tahun perjalanan NU belum tergarap secara maksimal. Ini berarti
pengurus-pengurus NU dapat dianggap tidak maksimal dalam mengemban tugasnya
sebagaimana diinginkan oleh para pendiri NU itu sendiri.
Melalui media inilah, mari kita menjadikan apa yang terjadi dalam
sejarah NU dengan berdirinya Nahdlotut tujjar dan apa yang tertuang dalam
Statuen NU tersebut menjadi motivasi bagi seluruh komponen NU untuk memulai
mengembangkan sector Ekonomi dan Pendidikan secara lebih maksimal.
C.
Strategi Membangun Ekonomi Umat
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah warga NU, namun dari berbagai
literatur menyebutkan bahwa jumlah warga NU tidak kurang dari 40 juta orang.
Mayoritas dari warga NU adalah tinggal di pedesaan dengan mata pencahariannya
sebagai petani, nelayan dan pedagang serta usaha yang sifatnya kecil. Sector
itulah yang rentan terhadap badai krisis ekonomi dan kemiskinan. Sehingga
mayoritas masyarakat miskin tersebar di pedesaan dan pedalaman-pedalaman. Data
BPS 2005-2006 menyebutkan, bahwa 63,41% penduduk miskin tinggal di pedesaan.
Meskipun secara geografis Indonesia adalah Negara agraris dan sebagian besar
penduduknya bertani dan nelayan, namun perhatian Pemerintah pada pertanian dan
perikanan masih sangat minim. Petani seringkali dihadapkan pada mahalnya pupuk
saat musim tanam dan rendahnya harga dimusim tanam. Mayoritas nelayan kita yang
umumnya tradisional juga dihadapkan pada minimnya fasilitas penangkapan,
pelelangan dan ancaman nelayan asing serta nelayan-nelayan besar modern. Belum
lagi keduanya dihadapkan pada kecilnya perhatian pemerintah dan perbankan dalam
mengucurkan kredit pada sector pertanian dan perikanan ini. Dari data perbankan
nasional, hanya sekitar 35% saja dana kredit yang mengucur ke sector pertanian,
nelayan dan usaha kecil. Sedang sekitar 65%nya dialirkan ke corporasi yang
banyak mengalami masalah kredit macet.
Penanganan kemiskinan dan peningkatan ekonomi masyarakat semestinya
diarahkan pada pengembangan ekonomi petani, nelayan dan usaha kecil, karena
dari 39,05 juta penduduk miskin berada pada sector ini. Apabila kebijakan
pemerintah kedepan benar-benar diarahkan pada sector ini, maka NU dapat
bersinergi dalam memberdayakan ekonomi umat. Dengan bersinergi bareng program
Pemerintah, maka langkah NU akan menjadi semakin mudah dalam merancang
pembangunan ekonomi umat.
Diakui ataupun tidak bahwa keterbelakangan bangsa Indonesia yang
didalamnya mayoritas warga NU adalah juga karena kebijakan ekonomi Pemerintah
tidak mendukung sector ini, selain memang NU secara structural kurang
berorientasi dalam pengembangan ekonomi. Bahwa kemiskinan yang selama ini
terjadi adalah karena ketidaksamaan kemampuan untuk mengakumulasi basis-basis
kekuasan social. Pemerataan dalam akses basis-basis social itu tidak mungkin
dapat dilakukan secara maksimal oleh masyarakat atau NU tanpa adanya dukungan
dari Pemerintah. Basis-basis kekuatan social dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Modal produktif atas aset (tanah, perumahan, peralatan dan
kesehatan).
2. Sumber keuangan, seperti incam dan kredit.
3. Organisasi social dan perkawanan yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama.
4. Network/jaringan social untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan
dan keterampilan yang memadai.
5. Informsi-informasi yang berguna untuk kehidupan dan kelangsungan hidup sesama
2. Sumber keuangan, seperti incam dan kredit.
3. Organisasi social dan perkawanan yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama.
4. Network/jaringan social untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan
dan keterampilan yang memadai.
5. Informsi-informasi yang berguna untuk kehidupan dan kelangsungan hidup sesama
D.
Kendala dan upaya pengembangan
Belum mantapnya penataan ekonomi dikalangan NU, khususnya dilingkungan pesantren lebih dikarenakan sector ekonominya masih sebatas pada sector kecil dan tradisional. Secara umum kendala dalam pengembangan usaha ini adalah pada lemahnya bargaining pengusaha kecil untuk menentukan harga produk. Hal ini dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tidak adanya asset produksi yang memadai
2. Nilai hasil produksi pengusaha kecil acapkali tertinggal dengan hasil produksi dari
usaha berskala besar khususnya modern, karena tingginya beban biaya produksi
dan inefisiensi produksi.
3. Tidak adanya produk unggulan yang diandalkan.
Belum mantapnya penataan ekonomi dikalangan NU, khususnya dilingkungan pesantren lebih dikarenakan sector ekonominya masih sebatas pada sector kecil dan tradisional. Secara umum kendala dalam pengembangan usaha ini adalah pada lemahnya bargaining pengusaha kecil untuk menentukan harga produk. Hal ini dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tidak adanya asset produksi yang memadai
2. Nilai hasil produksi pengusaha kecil acapkali tertinggal dengan hasil produksi dari
usaha berskala besar khususnya modern, karena tingginya beban biaya produksi
dan inefisiensi produksi.
3. Tidak adanya produk unggulan yang diandalkan.
E.
Potensi Ekonomi Pesantren
Potensi ekonomi terbesar NU sebenarnya terletak pada pesantren.
Pesantren yang secara cultural maupun structural berada dibawah NU jumlahnya
sangat banyak dan tersebar diseluruh penjuru Indonesia hingga ke
pelosok-pelosok. Kemandirian pesantren sejak berabad-abad yang lalu menunjukkan
bahwa pesantren telah memiliki basis ekonominya secara mandiri. Namun perlu
diakui juga bahwa kemampuan ekonomi pesantren masih bersifat tradisional, kecil
dan mayoritas pada sector pertanian tradisional. Pesantren tidak hanya mendidik
ilmu-ilmu agama kepada para santrinya, namun juga memberikan skill-skill untuk
mengembangkan ekonomi, khususnya dalam bertani, berternak dan berdagang melalui
koperasi pesantren. Sehingga selepas dari pesantren, para santri dapat hidup
mandiri dengan bertani, berternak, atau menjadi pedagang kecil.
Seiring dengan perkembangan zaman, sudah saatnya pesantren mengembangkan
kemandiriannya dengan memperluas basis ekonominya melalui intensifikasi maupun
ekstensifikasi produksi. Intensifikasi produksi dapat dilakukan melalui
pemanfaatan teknologi modern dan hasil-hasil penelitian dalam pengembangan
unit-unit produksinya yang kebanyakan masih tradisional. Ekstensifikasi
dilakukan dengan membuka diri pada peluang-peluang produksi lain yang sangat
dibutuhkan oleh para santri dan masyarakat. Sehingga pesantren dapat menjadi
basis pengembangan ekonomi ummat.
Nah, untuk mewujudkan itu, maka pesantren harus melakukan
langkah-langkah sebagai berikut: pertama, pesantren harus membuka diri terhadap
perkembangan teknologi dan hasil-hasil penelitian dalam pengembangan ekonomi.
Kedua, pesantren mesti menyediakan sumber daya yang memadai melalui
pelatihan-pelatihan bagi santri dalam berbagai bidang garapan ekonomi di
pesantren maupun di luar peasantren, sehingga karya para santri memiliki daya
saing yang tinggi di pasar luas. Ketiga, membangun jaringan ekonomi antar
pesantren, santri sebagai alumni pesantren, masyarakat dan pemilik modal.
Jaringan ekonomi antar pesantren selain memberikan keuntungan secara ekonomi,
juga mampu meningkatkan hubungan kerjasama diantara pesantren. Banyaknya jumlah
pesantren dengan ribuan santri tentu banyak kebutuhan yang harus dipenuhi yang
tidak mungkin dapat disediakan sendiri oleh pesantren tersebut. Oleh karenanya
jaringan ekonomi pesantren akan dapat menyediakan informasi produksi dan
kebutuhan diantara pesantren sehingga pasar dan distribusi produksi ekonomi
dari pesantren akan semakin luas. Dengan demikian pesantren akan semakin kuat
dan mandiri, yang pasti juga akan dirasakan oleh para santri maupun alumni.
Tingkat ketaatan dan keeratan ikatan emosional antara pesantren dengan alumni
dapat memberikan keuntungan untuk semakin memperluas jalur distribusi dan
pengembangan pasar, sehingga alumni dapat menjadi penghubung antara pesantren
dengan masyarakat. Yang terakhir, kerjasama dengan pemilik modal menjadi bagian
penting dalam pengembangan ini, karena selama ini ekonomi santri hanya dibangun
dengan keterbatasan modal.
Untuk mewujudkan itu, maka pesantren membutuhkan satu agen pengembangan
ekonomi pesantren yang tidak mungkin dilakukan oleh pesantren itu sendiri.
Disinilah peran organisasi-organisasi yang memiliki kedekatan secara kultur
dengan pesantren tetapi yang memiliki system struktur yang baik, kemampuan
mengorganisir dan semangat yang kuat. Bias melalui lembaga-lembaga yang secara
khusus dibentuk oleh NU ataupun diluar NU seperti PMII. Kenapa PMII? Selain
karena tanggung jawab basis culturalnya, juga dapat arah baru kaderisasi PMII
pada aksi nyata dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan umat. Nah, untuk itu
diperlukan strategi yang tepat agar upaya dari lembaga khusus NU, PMII maupun
lembaga-lembaga lainnya bisa membuahkan hasil.
F. Langkah dan Strategi Pengembangan
Dari beberapa uraian tersebut, beberapa pilihan langkah dan strategi yang mesti dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, Penyusunan kerangka kerja. Penyusunan kerangka kerja mutlak dibutuhkan karena akan menjadi pijakan, arah dan tujuan yang hendak dicapai. Kedua, melakukan pendataan (inventarisir) potensi ekonomi pesantren baik melalui data-data jadi maupun penelitian langsung terhadap potensi pesantren dan masyarakat disekitarnya sehingga dapat menemukan gambaran yang lengkap untuk mengklasifikasikan bidang dan wilayah potensi ekonomi yang akan dikembangkan. Ketiga, berdasarkan temuan-temuan itu kemudian dijadikan acuan dalam menganalisis peluang-peluang usaha jaringan dan mengorganisir pesantren untuk masuk dalam jejaring tersebut. Langkah selanjutnya adalah melakukan konsolidasi dengan pesantren-pesantren untuk membangun satu sinergi dan komitmen bersama baik dalam membentuk organisasi jaringan ekonomi maupun dalam pemberdayaan pesantren dalam bidang ekonomi secara berkelanjutan. Keempat, berdasarkan komitmen diatas, maka langkah yang paling krusial adalah realisasi kerja jaringan. Hal ini menjadi langkah paling vital, karena dari situlah secara langsung manfaat, kekurangan dan berbagai tantangan akan diketahui. Langkah selanjutnya mulai menerapkan standarisasi mutu produk jaringan dan secara terus-menerus berinovasi untuk menemukan trobosan-trobosan baru dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Langkah yang terakhir dan harus dilakukan adalah evaluasi. Evaluasi bukan berarti menandakan akhir dari sebuah aktivitas tapi menjadi langkah awal dalam menyusun kerja-kerja selanjutnya.
Langkah dan strategi di atas harus ditopang dengan moralitas yang
tinggi. Itu setidaknya diwujudkan dengan menerapkan empat sifat nabi dalam
setiap aktivitas jaringan, yaitu siddiq (berlaku jujur), tabligh
(menyampaikan), amanah (dapat dipercaya) dan fathonah (profesional). Dengan
berpegang pada empat sifat itu dan dibarengi dengan strategi-strategi di atas,
maka peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat akan menjadi sebuah kenyataan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengembangan ekonomi pesantren tidak saja akan memberdayakan pesantren,
namun juga dapat memberdayakan ekonomi NU bahkan umat pada umumnya. Oleh
karenanya kerjasama semua pihak sangat dibutuhkan dalam upaya ini. Inilah
saatnya mengentas kemiskinan umat dan kembali mengangkat islam dan umat islam
pada posisi yang kuat, sehingga tidak hanya secara normative islam disebut
sebagai ya’lu wala yu’la alaihi, namun juga secara riil menunjukkan bahwa umat
islam berdiri pada posisi yang terhormat dan sejahtera. Inilah tujuan yang
sesungguhnya dari upaya pengembangan ekonomi umat melalu basis pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar