BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keterbelakangan baik secara
mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan
tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang
muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional".
Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat
pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain.
Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama
ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut
dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul
Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik
kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, makaTaswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok
studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais
Akbar (ketua) pertama NU. Berangkan komite dan berbagai organisasi
yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk
membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk
organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344
H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari
sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar
organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab
tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
B. Rumusan Masalah
Dari Latar
Belakang yang dipaparkan di atas maka bisa ditarik rumusan masalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimana Sejarah dari NU ?
2.
Bagaimana visi keagamaan
NU?
3.
Apa NU dan Masyumi?
4.
Bagaimana NU sebagai
Partai Politik.?
C. Tujuan
Dari Rumusan Masalah yang
dijelaskan diatas maka dapat ditarik tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui bagaimana
Sejarah dari NU.
2.
Untuk mengetahui visi
keagamaan NU
3.
Untuk mengetahui NU
dan Masyumi
4.
Untuk mengetahui bagaimana NU
sebagai Partai Politik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Berdirinya Nahdlatul Ulama
Pada
awal abad 20 pergeraka bangsa Indonesia menghadapai penjajahan mulai disalurkan
melalui organisasi sosial, baik yang berciri keagamaan maupun kebudayaan. Budi
oetomo (BO) yang didirikan oleh pemuda-pemuda Indonesia yang pernah mengenyam
pendidikan moderen Barat adalah awal kemunculan berbagai aspirasi pergerakan
menghadapi penjajahan Beanda. Dilihat dari sudut akar organisasi, BO sebenarnya
bercirikan kebudayaan Jawa. Berarti secara teroritis ia tidak memiliki pengikat
yang dapat menampung potensi bangsa Indonesia secara nasional. Tapi karena
kedudukannya sebagai organisasi moderen pribumi pertama yang punya tujuan
memajukan pribumi dan memppunyai kepedulian tinggi terhadap nasib bangsanya
akibat penjajahan Belanda, maka tepat jika dikatakan, berdirinya BO menandai
kebangkitan nasionalisme di Indonesia.
Pada
saat yang sama gaung pembaruan yang didengungkan Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla di Mesir meniupkan angin segar yang mengilhami
munculnya pergerakan keislaman di tengah ketertindasan umat Islam di bawah
kekuasaan imperialisme Barat. Oleh karena itu gerakan pembaruan di
negara-negara Islam bersambut hangat dengan gerakan nasionalisme untuk
memperjuangkan kemerdekaan mereka dari tangan penjajah. Di Indinesia lahir
Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah sebagai sosok pergerakan nasionalisme yang
berciri keislaman atau sosok pembaruan yang bersenyawa dengan pergerakan
nasionalisme.
Walaupun
kedua organisasi tersebut mempunyai kesamaan dalam hal jiwa pembaruan, tapi
corak dan stressing pergerakan keduanya berbeda. SI merupakan wujud
pergerakan politik nsionalisme-religius yang berhadapan dengan
nasionalisme-kebudayaan BO. Dari sudut stressing pergerakan, SI adalah
pergerakan perbaikan ekonoi pribumi. Sedang Muhammadiyah merupakan gerakan
embaruan keagamaan yang concern dengan modernisasi pendidikan.
Tumbuhnya
ketiga organisasi yang bertujuan memajukan bangsa Indonesia ini membangkitkan
obsesi sejumlah pelajar yang sedang menuntut ilmu di Makkah, antara lain Abdul
Wahab Chasbullah, Muhammad Dahlan, Asnawi, dan Abbas. Mereka kemudian
mendirikan SI cabang Makkah. Sebelum sempat mengembangkan organisasi tersebut
mereka harus pulang ke tanah air setelah pecah perang dunia. Namun hal itu
tidak mematahkan obsesi mereka untuk terus melakukan upaya-upaya memajukan
negara. Pada sekitar tahun 1914, Abdul Wahab salah satu dari mereka, dan Mas
Mansur (kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah) mendirikan organisasi pendidikan
dan dakwah yang diberi nama Nahdlatul Wathan.
Nahdlatull
Wathan mendapat pengakuan badan hukum pada tahun 1916 dengan bantuan HOS
Cokroaminoto dan seorang arsitek bernama Soenjoto. Untuk menopang kebutuhan
finansial kegiatan pendidikan yang tidak sedikit, mereka melibatkan H. Abdul
Qahar, seorang saudagar kaya yang puya perhatian besar terhadap persoalan kaum
muslimin. Saudagar tersebut kemudian diangkat sebagai direktur, sedang Mas
Manusr dipercaya sebagai guru kepala dan Abdul Wahab sendiri guru selain
sebagai pengurus Nahdlatull Wathan bersama Mas Mansur.
Setelah
beberapa cabang Nahdlatul Wathan berdiri, pada tahun 1918 di Surabaya berdiri
organissasi baru bernama Tashwirul Afkar yang dibidani oleh Kyai Ahmad Dahlan
bersama Mas Mansur, Abdul Wahab dan Mangun. Sejak berdiri sampai tahun 1929
nama resmi organisasi ini adalah Suryo Sumirat Afdeling Tashwirul Afkar, satu
hal yang mengindikasikan keakraban tokoh Tashwirul Afkar dengan Budi Oetomo
sebagai pendiri badan hukum Suryo Sumirat.
Abdul
Wahab yang memiliki kemauan keras dan kepedulian sosial yang tinggi serta tidak
mudah putus asa, pada tahun yang sama ata sijin gurunya, KH Hasyim Asy’ari,
mendirikan usaha perdagangan dalam bentuk koperasi yang diberi nama Nahdlatut
Tujjar. Diangkat selaku ketua koperasi, KH Hasyim Asy’ari sedang Abdul Wahab
sendiri menjabat sebagai manajer yang menjalankan kperasi tersebut. Pembentukan
koperasi ini mengindikasikan adanya upaya kerjasama ekonomi di lingkungan
pesantren sebelum lahirnya NU.
B. Visi
Keagamaan NU
Dalam
Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama disebutkan bahwa NU menganut paham
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan mengikuti mazhab empat. Pengertian Aswaja
kemudian dijabarkan oleh KH Bisyri Musthofa sebagai berikut:
1.
Dalam
bidang hukum Islam menganut ajaran dari salah satu mazhab empat. Dalam praktek
para kyai adalah penganut kuat mazhab Syafi’i
2.
Dalam
soal-soal tauhid menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi
3.
Dalam
bidang tasawauf menganut dasar dasar ajaran Abu Qasim al-Junaid
Faroq
Abu Zaid dalam bukunya Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis
meruuskan watak para pendiri mazhab dan menyebut Syafi’i sebagai imam kaum
moderat. Bila diperlukan, mazhab Syafi’i terbuka menerima suatu tradisi yang
telah berlakku sebelumya berlandaskan sebuah hadis yang artinya, “apa yang
dianggap baik seorang muslim, maka ia juga baik di sisi Allah”. Karen aitu dengan
menegaskan diri menganut mazhab syafi’i, dimungkinkan adanya pilihan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam
bidang Tauhid, Asy’ari sering disebut sebagai pengejawantahan moderasi ekstrem
Rasionalis dan tekstualis. Sebagai bekas penganut aliran Mu’tazilah, Asy’ari
mampu mengembangkan argumen rasional. Tetapi tidak seperti Mu’tazilah, ia
mendasarkan argumennya terutama pada al-Qur`an dan Hadis. Terlepas hasil yang
dicapai, Asy’ari dengan teologiya telah memadukan pengakuan bulat terhadap
kekuasaan Tuhan dan pengakuan utuh terhadap urgensi peran akal bagi manusia.
Pengakuan
NU terhadap kehidupan sufi merupakan konsekwensi logis atas pengakuannya
terhadap status quo praktek kegamaan pada saat itu. Namun tasawuf seperti
diketahui menekankan kesadaran mistik, dan karenanya tak jarang ia dituduh
mengabaikan syariat, sehngga pengikut tasawuf sering bersitegang dengan kaum
sunni yang merupakan mayoritas kaum Muslimin. Untuk mengantisipasi hal tersebut
NU menetapkan pilihan tasawufnya kepada aliran Junaid al-Baghdadi. Pilihan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa Junaid al-Baghdadi merupakan salah satu tokoh
sufi yang mampu mengintegrasikan secara total antara syariah dan haqiqah.
Dengan demikian pengakuan NU terhadap tasawuf tidak akan terjerumus kepada praktek
tasawuf sesat.
Ketiga
rumusan di atas, tauhid, fiqih dan tasawuf, merupakan tiga sendi pokok agama
yaitu: iman, islam dan ihsan yang harus diimplementasikan dalam perbuatan
sehari-hari secara serempak, terpadu dan berkeseimbangan.
Dengan
tiga pilihan di atas Nu hendak mengeaskan bahwa paham keagamaan yang dianutnya
berwatak moderat dan menjauhi pertikaian seperti nampak dalam fiqih Syafi;i dan
teologi Asy’ari. Pengakuannya terhadap eksistensi mazhab mengisyaratkan bahwa
NU masih mempertimbangkan etika belajar yang menekankan pentingya transmisi
intelektual. Dan penerimaannya terhadap tasawuf Junaid al-Baghdadi membuat NU
mudah menyesuaikan dengn keadaan lingkungannya dan mudah menerima elemen-elemen
budaya lokal.
C. NU
dan Masyumi
Tidak
berlebihan jika dikatakan, NU satu-satunya organisasi sosial keagamaan pada
dekade 20-an. Kalau BO berciri kebudayaan, SI menekankan aspek perjuangan
politik dan Muhammadiyah memposisikan dirinya sebagai gerakan pendidikan, maka
NU mengukukan dirinya sebagai jam’iyyah diniyyah, organisasi keagamaan
tradisional. Dalam anggaran dasar 1926 NU menetapkan tujuannya adalah untuk
mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab. Tujuan itu diusahakan
dengan:
1. Memperkuat
pesatuan di antara sesama ulama penganut ajaran empat mazhab
2. Meneliti
kitab-kitab yang akan dpergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran Ahlussunah
wal Jama’ah
3. Menyebarkan
ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab
4. Memperbanyak
jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya
5. Membantu
pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak
yatim dan orang miskin
6. Mendirikan
badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota
Dari
enam langkah di atas tidak satupun yang mengindikasikan adanya nuansa politik dalam
ergerakan NU.
Namun
visi keagamaan yang digeluti NU sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi
politik. Acuan utama yang digunakan NU, yaitu fiqih mazhab, banyak menyinggung
persoalan yang bersentuhan dengan politik. Bab-bab fiqih seperti qodlo,
imamah, imaratul jays dan al-bughat mengandung implikasi pesan
politik. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perilaku politik NU.
Keinginan
menjadi partai politik pertama kali muncul pada Muktamar Menes 1938 ketika
membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad) atas usul
cabang Indramayu. Usul itu ditolak dalam sidang dengan perbandingan suara, 39
menolak, 11 mendukung dan 3 abstain. Dengan ditolaknya usul ini, sampai awal
masa kemerdekaan secara formal NU tetap menjadi organisasi keagamaan. Tetapi
tidak berarti NU tidak pernah bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat
politis. Tercata pada tahun 1935 tiga tahun menjelang Muktamar Menes, NU
mengeluarkan keputusan dalam kaitan pembelaan negara dari ancaman musuh bahwa
Indonesia adala negeri muslim. Dan pada masa pemerintahan Jepang NU menyatakan
bahwa membantu Jepang dalam perang pasifik tidak wajib.
Awal
perjalan politik raktis NU diawali pada tahun 1945, ketika bersama-sama
organisasi Islam lainnya membentuk partai yang disebut Masyumi (Majlis Syuro
Muslimin Indonesia) yang diumumkan berdiri tanggal 7 November 1945. NU menjadi
anggota istimewa dan mendapat jatah kursi di Majlis Syuro. Dalam anggaran rumah
tangga Masyumi, peranan Majlis Syuro disebutkan antara lain:
1. Majlis
Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada
pimpinan partai
2. Dalam
soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama maka pimpinan
partai meminta fatwa dari Majlis Syuro
3. Keputusan
Majlis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai
Jika Muktamar/Dewan Partai
berpendapat lain daripada keputusan Majlis Syuro, maka pimpinan partai dapat
mengirimkan utusn untuk berunding dengan Majlis Syuro dan hasil perundingan itu
merupakan keputusan tertinggi
Dengan
melihat anggaran rumah tangga tersebut, NU menganggap posisi Majlis Syuro cukup
strategis. Agaknya hal ini yang membuat NU cukup puas dengan komposisi
kepengurusan yang ada meskipun tak satu anggota NU yang duduk di kursi
eksekutif partai.
Munculnya
Partai Masyumi sebagai satu-satunya wadah aspirasi politik Islam memang mampu
menyatukan kelompok-kelopom Islam yang berbeda paham. Tercata hanya Perti
(Persatuan Tarbiyah Indonesia) yang tidak bersedia bergabung ke dalam Masyumi.
Tetapi persatuan itu sebenarnya tidak berhasil melebur perbedaan visi kegamaan
yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perpecahan. Keadaan ini diperparah
dengan tidak meratanya distribusi kekuasaan antar kelompok, sehingga
menimbulkan ketidakpuasan. Pada tahun 1947 beberap tokoh SI seperti Arudji
Kartawinata dan Wondoamiseno keluar dari Masyumi dan mendirikan PSII (Partai
Serikat Islam Indonesia). Dan dengan keluarnya PSII hancurlah mitos, Masyumi
sebagai satu-satunya partai Islam.
Dalam
Muktamar Palembang tahun 1952 diputuskan bahwa NU keluar dari Masyumi. Hal ini
disebabkan oleh sikap eksekutif partai yang tidak lagi menganggap Majlis Syuro
sebagai dewan tertinggi. Meskipun secara formal Anggaran Rumah Tangga masih
seperti semula tetapi pada praktiknya Majlis Syuro hanya dijadikan sebagai dewan
penasehat yang keputusannya tidak mengikat, hal mana mengakibatkan kekecewaan
NU dalam Masyumi. Kekecewaan itu juga dipicu oleh persoalan distribusi
kekuasaan. Selama tiga kali pembagian kursi kabinet, NU selalu mendapat satu
jatah, yaitu kursi menteri agama. Hal itu dapat dimaklumi karena NU memang
miskin tenaga ahli yang terampil untuk memimpin suatu kementerian. Dan hanya
menteri agama yang kiranya dapat diandalkan, karena NU merasa mempunyai tenaga
untuk itu, karena itu dalam kabinet Wilopo tahun 1952 NU menghendaki agar kursi
menteri agama tetap menjadi bagiannya. Tetapi sebagian besar anggota Masyumi
tidak menyetujui hak itu, karena NU sudah tiga kali berturut-turut memegang
jabatan menteri agama. Akhirnya melalui keputusan rapat keinginan U ditolak dan
inilah yang memicu keluarnya NU dari Masyumi.
D. NU
Sebagai Partai Politik
Setelah
keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri pada tahun
1952, NU segera disibukkan dengan persiapan pemilihan umum pertama tahun 1955.
Waktu yang dimiliki NU untuk bertarung dalam Pemilu 1955 relatif pendek jika
dbandingkan dengan partai-partai besar lainnya. Namun demikian NU berhasil
meraih 18,4 persen suara (45 kursi) di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang mendapatkan 22,3 persen suara (57 kursi) dan Masyumi yang memperoleh 20,9
suara (57 kursi).
Dalam
Majlis Konstituante hasil Pemilu 1955, Nu dan partai Islam lainnya mempunyai
keinginan yang sama yaitu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Namun dari
perolehan suara yang ada dapat diduga bahwa koalisi partai-partai Islam tidak
akan mudah mengegolkan cita-cita politiknya. Kekuatan partai Islam bila
dijimpun hanya memperoleh 45,2 persen dan koalisi kelompok nasionalis dan
komunis memperoleh 42,8 persen. Berarti baik kelompok Islam maupun koalisi
kelompok lain tidak ada yang memperoleh 2/3 suara yang dibutuhkan untuk
memenangkan pemungutan suara. Perdebatan mengenai dasar negara akhirnya menemui
jalan buntu dan diselesaikan dengan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang
memutuskan:
1. Pembubaran
konstituante
2. Kembali
ke Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) dan tidak berlakunya undang-undang
sementara 1950
3. Pembentukan
Majlis Permusyawarata Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dalam
dekrit tersebut disebutkan bahwa Piagama Jakarta yang lebih berpihak kepada
kelompok Islam, menjiwai Undang Undang Dasar 1945 dan merupakan satu rangkaian
kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Sebelumnya,
ketika terlihat tanda-tanda akan dberlakukannya UUD 45, NU mengadakan Sidang
Dewan Partai di Cipanas Bogor pada tanggal 26-28 Maret 1958 dan berhasi
merumuskan keputusan sebagai berikut. Dapat menerima UUD 45 sebagai UUD RI
dengan pengertian:
a) Piagama Jakarta 22 Juni 1945
menjiwai UUD tersebut pada keseluruhannya dan merupakan sumber hukum.
b) Islam tetap menjadi perjuangan
partai NU.
c) Hasil-hasil Konstituante tetap
berlaku.
Kata
“menjiwai” bagi kelompok Islam merupakan setitik harapan untuk memberlakukan
Piagam Jakarta mendampingi UUD 45 menjadi daar negara. Namun keinginan ini
kembali kandas setelah Sukarno dan kelompok nasionalis netral agama memberikan
penafsiran lain terhadap maksud “menjiwai”. Bagi meraka maksud “menjiwai”
hanyalah menunjukkan adanya jalinan atau hubungan yang menyejarah antara Piagam
Jakarta dan Pancasila.
Dekrit
preseiden kemudian diikuti dengan pembubaran parlemen pada tanggal 5 Maret 1960
dan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). Pada babak ini
NU menghadapi situasi yang cukup sulit. Pembentukan DPR GR melalui keputusan
Presiden adalah hal yang tidak demokratis. Namun membiarkan negara tanpa
lembaga perwakilan rakyat akan merugikan parta-partai Islam. Apalagi jika
diingat, keputusan tersebut mendapat dukungan pratai-partai lain serta militer,
maka melawan keputusan tersebut adalah hal yang tidak membawa keuntungan bagi
umat Islam. Dengan mengacu kepada dalil-dalil fiqih, dar’ul mafasaid
Muqaddam ‘ala jalbil mashalih dan irtikabu akhaffidh dhararain
akhirnya NU menerima keputusan Presiden, tetapi masih dengan tetap mengusulkan
diselenggarakannya pemilu untuk memilih DPR yang representatif.
Kekacauan
politik akibat semakin memburuknya ekonomi dan pertiakaian antar partai tidak
dapat tertolong dengan dekrit presiden. Bahkan pada tahun 1965 meletus
pemberontakan yang didalangi PKI. Peristiwa ini diikuti dengan Supersemar yang
memberikan wewenang kepada Jendral Suharto untuk menegakkan ketertiban dan
pemulihan kemanan. Peristiwa ini sekaligus menandai dimulainya babak baru
sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang disebut dengan Orde Baru.
Dengan
lahirnya Orde Baru NU mempunyai harapan besar untuk dapat lebih meningkatkan
peran politiknya. Harapan itu muncul karena NU merasa berjasa dalam menumpas
pemberontakan PKI. Namun sebenarnya harapan itu adalah harapan semu. Sebab
sejak kemunculan Orde Baru, pemerintahan dikendalikan oleh kalngan birokrat,
ABRI dan tekhnokrat, bukan oleh orang-orang partai. Undang-undang Pemi;u yang
disahkan pada 1969 berhasil mengukuhkan kehadiran ABRI di panggung politik dan
mengurangi peranan partai. H. Subchan ZE, seorang tokoh NU, melukiskan Undang
Undang Pemilu itu sebagai berikut.
Secara
umum dikatakan bahwa UU Pemilu tidak relevan dan tidak demokratis secara
sempurna. Namun demikian masih lebih baik daripada tidak ada undang-undang
pemilu. Ini merupakan permulaan yang baik dari kehidupan demokrasi setelah
ditinggalkan oleh Rezim Sukarno.
Pada
Pemilu 1971 Golkar dengan dukungan dari aparat pemerintah dan militer mengan
dengan sangat mencolok dengan perolehan suara 62,80 persen atau 236 kursi DPR
di tambah 100 kursi karya ABRI dan non ABRI yang diangkat. Dengan mengantongi
336 dari keseluruhan kursi 460 maka Golkar memiliki suara mayoritas mutlak.
Dengan kemenangan itu rencana penyederhanaan partai yang telah dirintis
sebelumnya oleh pemerintah, tidak menemui hambatan berarti. Penyederhanaan itu
mulanya dilakukan dengan anjuran pengelompokan partai dalam DPR, kemudian
anjuran fusi antar partai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
materi-materi yang sudah disampaikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari
1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar, Nahdlatul
Ulama menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil
jalan tengah antara ekstrim aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis), Jumlah warga Nahdlatul Ulama atau basis pendukungnya
diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Mereka
memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah
yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah dan pada
umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang
merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
B.
Saran
Perlu
adanya bimbingan khusus untuk masyarakat pada umunya dan pelajar maupun
mahasiswa pada khususnya untuk lebih mempelajari seluk beluk mauapun sejaran
tentang Nahdlatul Ulama (NU). Selain itu, peran tokoh masyarakat yang mendukung
untuk lebih meningkatkan NU di mata masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar